Syasya Menulis Fiksi


BUKAN KARENA KETEGARANKU DALAM BERTAHAN, TAPI KARENA RAHMATNYA MENGAJARIKU SABAR


BAB 1

“Tak Tak Tak Tak”
Sungguh dialah yang terpanjang dan terpendek, yang paling cepat tetapi juga paling lambat, dia menelan semua yang kecil dan membangun segala yang besar. Dialah waktu.
Sesekali ku tengok wecker biru berbentuk wajah mini mouse yang terletak di atas lemari buku. Perasaanku semakin galau, walaupun aku berusaha tak memikirkan dan menutup kuat wajahku dengan bantal, tetapi tetap saja aku memikirkannya. Bintang tak lagi hiasi malam, sinar bulan tak seindah biasa, semua larut dalam pikiranku yang kacau.
Tepat di menit terakhir menuju pukul 06.00 pagi, HP ku berdering. Ku rebut cepat HP yang sedari malam hanya diam di atas ranjang itu. Dengan penuh kecemasan, rasa penasaran dan keangkuhan, aku membaca sms yang masuk.
Air mataku menetes, tak akan bisa aku menapikkan hatiku dari kesedihan, kehilangan, dan penyesalan. Ingin saja aku berlari membawa kepingan hati yang hancur ini untuk ku berikan padanya, ingin saja aku merajuk di hadapannya dan mengatakan bahwa aku sangat-sangat membutuhkannya. Dia sang penggenggam cakrawala hatiku, dia mengatur setiap perubahan dalam hidupku, dia pencipta pelangi indah di sanubariku. Tapi ini bukanlah telenovela, dia bukanlah Romeo dan aku bukan Juliet, kami hanya dua insan biasa yang masih menggantungkan hidup pada orangtua. Dia dengan tujuan hidupnya dan aku dengan tujuan hidupku.
Semakin lama, tangisku semakin dalam, kembali ku baca sms itu, semakin berdenyut sakit di kepalaku, aku merebahkan diriku, masih tetap di atas ranjang dengan posisi menyamping, ku tarik selimut dan ku genggam erat bersama HP. Sebisanya ku redam suara tangis ishak dengan menggigit ujung selimutku. Aku tak ingin mama dan papa tahu bahwa aku menangis, walaupun sebenarnya mama dan papa sudah menyangka hal ini akan terjadi, karena mama dan papa lah pihak yang paling mengerti aku dan ikut terlibat atas masalah ini.
Ditemani mentari yang menyingsing perlahan, aku membiarkan buliran air mata yang menetes di bantal melewati tulang kecil hidung dan pipi kiriku. Tuhan, Aku sangat menyesal.

BAB 2

“Rin, kenalin, ini Kak Miko.”
Aku menyambut hangat uluran tangan dari pria yang disebut-sebut Kakak oleh Ridha. Sebisanya ku balas juga senyum manis yang diberikan si Kakak itu padaku.
“Kak, pokoknya nanti Kakak wajib nemanin Rina dan ngurus semua yang diperlukan Rina sampai Rina benar-benar sudah nyaman dan dapat teman banyak di kampus,” sambung Ridha.
“Sip Dik,” jawab kak Miko sambil mengangkat jempol kanannya.
“Om, Tante, Ridha berangkat dulu, terima kasih atas semuanya,” pamit Rina pada papa dan mama.
“Iya, kamu hati-hati ya Ridha, lain kali nginap di sini aja,” balas mama dengan penuh kehangatan.
“Semoga kuliahnya berjalan lancar,” papa pun turut mendoakan Ridha
“Iya, makasih ya Om, Tante.”
“Oya Rina, aku pergi dulu ya, nanti aku kasih nomer hape kamu ma Kak Miko.”
Aku membalas pamit Ridha dengan senyuman tipis, dalam hati aku mendoakan kesuksesan Ridha melanjutkan studinya dan menjalankan kehidupannya di ibu kota Kalimantan Timur. Andai saja mama dan papa mengizinkan, mungkin aku akan berangkat bersama Ridha, sayangnya mama dan papa terlalu berat melepaskan anak perempuan satu-satunya yang mereka miliki ini.
Sekilas perkenalan singkatku dengan kak Miko terkesan biasa, tapi siapa sangka bahwa perkenalan itu adalah awal dari cinta pertamaku.

BAB 3

Setelah kepergian Ridha, kak Miko dengan penuh tanggung jawab menjalankan amanah yang diberikan Ridha padanya. Kak Miko senantiasa menjemput, menemani dan mengurus semua keperluanku hingga aku berhasil masuk ke perguruan tinggi di kota kecil tempat kelahiranku, Universitas Borneo. Satu-satunya universitas yang ada di sebuah pulau bernama Tarakan. Universitas yang berjuang untuk menjadi universitas negeri di Kalimantan Timur. Walaupun hanya di pulau kecil, keindahan yang disajikan di sekitar kampus sangat mempesona, hamparan panorama alam adalah wujud lukisan Tuhan yang indah. Pohon-pohon rindang tumbuh mengelilingi gedung, sepoian angin pantai yang berasal tak jauh dari kampus menambah harmoni ketenangan, tak jarang mahasiswa yang pergi ke pantai jika jam kuliah telah habis. Termasuk aku dan kak Miko, usai perkuliahan yang baru awal ku tekuni, kak Miko mengajakku ke Pantai yang biasa di sebut pantai Amal¹ itu.
Kami duduk di sebuah warung yang terletak dipinggir pantai. Penjual bertubuh gemuk dengan wajah ramah menyodorkan dua buah kelapa muda. Nampaknya kak Miko sangat akrab dengan ibu si empunya warung. Cukup dengan menanyakan kabar si ibu, ibu itu sudah mengerti apa yang dipesan kak Miko.
            Kak Miko mencairkan suasana dengan melisankan pengetahuan yang ia punya seputar kampus dengan kalimat bijak nan lembut. Aku berusaha menyimak dengan antusias, karena aku yakin apa yang dijelaskan kak Miko pasti sangat bermanfaat untukku kelak selama menempuh studi di Universitas Borneo.
Saat itu aku merasa sangat bahagia, aku merasakan hal yang berbeda, yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, semakin lama penjelasan kak Miko tidak membuatku semakin mengerti, tapi membuatku semakin bertanya-tanya apa yang aku rasakan sekarang, aku menatap wajah kak Miko, ia tersenyum, aku semakin bahagia. Jika saja boleh, aku ingin kak Miko selalu tersenyum seperti itu, tulus dan penuh kasih sayang. Cepat-cepat ku alihkan wajahku kembali menatap luasnya pantai, desiran ombak menyatu dengan alunan suara kak Miko, menyeretku ke dalam rasa bahagia dan menghempaskanku tinggi ke pesisir hati yang lama menanti kekasih.
¹Pantai Amal: Sebuah pantai yang terletak di Pulau Tarakan, Kalimantan Timur

BAB 4

Sikap kak Miko yang penuh kebaikan, dewasa dan sangat menjaga sopan santun ternyata menjadi kebanggaan tersendiri di mata Mama dan Papa. Terkadang tanpa segan mama melontarkan pujiannya kepada kak Miko dihadapanku. Begitupun dengan papa, baru kali ini papa menunjukkan keakrabannya dengan temanku. Papa selalu mengajak kak Miko makan bersama ketika kak Miko datang ke rumah dan mama sangat antusias menyiapkan masakannya yang memang dikenal enak oleh semua orang yang pernah menyantap masakannya. Jika suara kumandang adzan telah diperdengarkan, papa, adik lelakiku dan kak Miko pergi bersama ke masjid yang terletak di samping rumah. Kehadiran kak Miko memberikan warna sendiri dalam keluarga kecil kami.
“Dik, ikut Kakak yah, kita pergi pengajian di rumah teman Kakak,” ucap kak Miko pada suatu malam, saat ia berkunjung ke rumah.
“Emm, Adik malu kak.”
“Nggak papa Dik, kakak izinkan dengan Papa Mama”
Malam itu kami pergi mengunjungi rumah sahabat kak Miko. Sesampainya di depan rumah teman kak Miko, aku merasa ragu dan malu hendak masuk, degupan jantungku terasa cepat. Layaknya artis yang hendak memulai konser, aku seperti akan menghadapi ribuan penonton yang siap menyaksikan aksiku. Jika aku salah, maka aku akan mengecewakan ribuan orang. kak Miko menarik pergelangan tanganku. Sedikit terpaksa, akupun melangkahkan kaki ke dalam rumah itu. Rumah yang sangat luas, perabotan yang tersedia di ruang tamu menggambarkan bahwa pemiliknya adalah orang bermobilitas ekonomi tinggi, guci-guci antik setinggi diriku menghiasi beberapa sudut ruangan, sofa mewah yang beralaskan tikar berbulu lembut menambah kenyamanan ruangan, belum lagi hembusan suhu dingin yang dikeluarkan mulut AC, membuatku ingin segera memejamkan mata. jauh sekali jika dibandingkan dengan rumahku yang beralas tikar yang sebagian telah sobek dimakan waktu, tiangnya hanya kayu, kata papa, kayu-kayu yang dibuat menjadi dinding rumah kami adalah kayu bekas yang dibeli dari bongkaran masjid di samping rumah. Berkali-kali aku merengek pada papa agar rumah kami direnovasi, tapi papa belum memiliki pesangon lebih, mama dengan sabar memberi pengertian padaku, kata mama, ukuran keindahan sebuah rumah bukan dari mewahnya bagunan rumah itu, tapi dari kebersihan dan kerapian rumah itu, apalagi kalau penghuninya mampu mensyukuri nikmat Allah berupa sebuah tempat tinggal pribadi, insya Allah rumah yang buruk bangunannya itu akan menjadi rumah paling indah.
“Silakan duduk di sini Dik, jangan lupa catat nama, fakultas, dan nomor hapenya di buku kegiatan rutin kajian malam,” seorang wanita menyapa sambil melemparkan senyum.
Aku melihat kak Miko yang duduk sekitar 5 meter dariku, karena dalam agama Islam, tempat duduk laki-laki sengaja dipisah jauh dari perempuan guna mencegah khalwat atau bercampurbaurnya dua manusia berbeda jenis kelamin dalam satu ruangan. Aku menulis nama, fakultas dan nomor HP seperti format yang telah dibuat dalam buku anggota yang diberikan padaku.
“Mari kita mulai saja, silakan Sohibul Bait² membuka pengajian kita malam ini,” tegas salah satu pria berjanggut tipis dengan kopiah³ di kepalanya.
Secara serentak lantunan kalam Allah mengisi tiap relung jiwa manusia yang hadir pada malam itu, segala hal yang bersifat duniawi sejenak terlupa. Kak Miko dan perasaan kagumku juga sirna saat bibir dan hatiku ikut melantunkan ayat-ayat Allah.
²Sohibul Bait: Pemilik rumah yang digunakan dalam sebuah acara.
³Kopiah: Nama penutup kepala dalam Islam yang dipakai oleh laki-laki, biasanya saat shalat atau ibadah lainnya.

BAB 5

“Serius banget smsannya, banyak fans yang hubungin yah?,” goda kak Miko saat menyantap makan siang di kantin kampus.
“Semenjak pulang pengajian Kak, banyak yang nelpon dan sms Rina, ada yang namanya Bandi, Zaenal, Yusran, dan ini barusan mengaku namanya Herman.”
“Oh, semua itu teman-teman pengajian semalam, Herman itu yang punya rumah yang kita datangi semalam”
“Oh ya? Yang mana yah Kak orangnya?”
“Nanti juga Adik bakal tahu, oh ya dik, Bagaimana menurut Adik, pantas tidak kalau saya menikah?,” tanya kak Miko membuatku sedikit sedih.
“Ehmm. pantas-pantas saja, Kakak kan sudah dewasa, wah siapa calonnya?,” tanyaku balik menutup kekecewaan.
“Saya kan sudah semester 6, teman-teman di fakultas Hukum juga sudah banyak yang menikah, saya bagian dari sisa yang belum menikah, saya ingin Adik menjadi calonnya, apa Adik mau?”
Aku terkejut mendengar pernyataan kak Miko, aku berhenti melanjutkan balasan sms yang hendak ku kirim ke Herman. Semula aku menganggap ini hanya gurauan, tapi sekali lagi kak Miko menegaskan bahwa apa yang ia ungkapkan adalah kebenaran. Perasaanku berbalas, inilah titik awal dari garis percintaan yang akan ku lalui, pikirku. Lelaki di hadapanku bukanlah lelaki sembarang, aku yakin mama dan papa akan mengizinkan aku berpacaran dengan kak Miko, kak Miko orang berpendidikan, walaupun baru menginjak semester ke enam tapi prospeknya jelas, aku yakin kak Miko bisa menjadi pupuk baik untuk menyuburkan langkahku.
“Iya, Rina mau,” jawabku dengan pasti dan tersipu

BAB 6

Lima bulan sudah aku melewati masa indahnya percintaan dengan kak Miko. keseriusan kak Miko dalam menjalin hubungan ditunjukkan lewat cincin emas yang telah melingkar di jari manis kami berdua. Kak Miko berjanji dalam waktu singkat ia akan menghalalkan diriku dengan akad-akadnya. Jalinan kasih kami semakin menguatkan sujud kami pada Illahi. Usai shalat dan memohon segala keridhoan Tuhan, terdengar suara ketokan di pintu kamarku. Aku segera membuka pintu kamar.
“Rina!,” Ridha memelukku erat layaknya sepasang sahabat yang baru bertemu setelah bertahun-tahun terpisah.
“Ridha, kapan datang? Kok gak bilang dulu, Sih
“Kejutan,” jawab Ridha Singkat.
“Bagaimana kuliahmu? Apa berjalan baik? Liburan di sini yah, Sayang,” Aku meruntutkan pertanyaan pada Ridha.
“Iya, aku diterima di FKIP Biologi, kamu sendiri gimana? Wah bucket bunga ini masih kau simpan Rin? Aku telpon kak Miko yah suruh ke sini?,” Balas Ridha sambil berjalan mengambil bucket bunga di atas meja belajarku..
Ridha menelpon kak Miko yang ternyata sedang melaksanakan kegiatan di HMI, salah satu organisasi mahasiswa yang berbasis keislaman. Sembari melipat kembali mukena yang telah kupakai shalat Ashar, aku menyaksikan Ridha dengan keceriaan menghempaskan badan di atas ranjang, mencium bucket bunga sambil menelpon kak Miko. Terdengar dari kejauhan suara kak Miko yang berjanji akan menemui Ridha usai kegiatan.
“ Rin, bagaimana menurutmu kak Miko itu?,” Tanya Ridha hingga membuat aku tersipu malu.
“Jangan bilang dia pernah membuatmu kecewa?,” sambungnya.
“Ah, enggak kok,” jawabku terbata.
“Yang benar? Syukurlah Rin, kalau gitu gak salah kan pilihanku?,” tanya Ridha seraya memainkan sebelah matanya dengan genit.
Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih dalam hati pada Rina yang telah menjadi perantara Tuhan memperkenalkanku pada kak Miko.
“Pilihanku memang gak pernah salah Rin,” sambung Ridha.
“Iya, aku tau Ridha itu selalu tepat dalam memilih,” pujiku untuk Ridha.
Kami berdua pun larut dalam tawa sambil memuji satu sama lain. Ridha memang sahabat terdekatku yang baik. Aku mengenalnya di bangku kelas 1 SMA. Saat aku baru memasuki kelas dan belum memiliki teman, Ridha mendatangiku dan memperkenalkan dirinya tanpa ragu. Dia gadis yang periang nan cantik, berhidung mancung, tubuhnya ideal dibalut kulit putih mulus, rambutnya panjang selengan atas dan selalu tergerai indah berhiaskan bandana motif bunga. Ridha orang yang gampang bergaul, tak heran banyak lelaki terutama teman sekelasku yang mengagumi kecantikannya. Namun Ridha tidak begitu saja memberikan peluang. Ridha bukanlah Merpati yang mudah dijinakkan, ia adalah Merpati yang selalu menatap langit, mencari sesuatu yang lebih dari yang biasa. Jika ia memutuskan untuk mengubah status menjadi “berpacaran”, pacarnya itu pastilah anak kuliahan, tampan dan tajir.
Semenjak lulus SMA, aku dan Ridha sepakat memutuskan untuk menggunakan penutup kepala atau jilbab. Ridha ingin mengubah kebiasaannya di SMA, ia memutuskan untuk tidak pacaran dengan pria sembarangan, katanya, ia ingin mencari laki-laki yang bisa diajak serius dalam berhubungan. Saat membicarakan pendamping hidup, Ridha selalu menyinggungku yang tak pernah berpacaran atau membuat komitmen dengan lelaki. Aku sebenarnya minder, tapi keistimewaan sering aku dapatkan dari teman-teman yang bangga dengan kesendirianku demi menjaga adab saat berteman dengan lelaki. Bahkan Ridha sendiri termasuk salah satu dari yang memuji.
“Tok.. tok..”
“Rina, Ridha, ada Miko di luar,” teriak mama di balik pintu kamar.
Ridha melempar bucket bunga ke atas ranjang dan berlari cepat keluar rumah untuk menyambut kedatangan kak Miko, sementara aku menyusulnya dengan berjalan biasa. Ridha langsung memeluk erat kak Miko. Terlihat wajah kaget kak Miko.
“Rin, makasih yah dah berteman baik sama kak Miko, ini pria yang selalu ku ceritakan dan ku rahasiakan namanya dari kamu. Dia yang memberi bucket bunga yang aku buang lalu kamu pungut dan kamu simpan di kamar kamu itu. Dia juga yang smsan sama kamu malam lalu saat kamu ku paksa berpura-pura menjadi aku.”
Tak bisa ku jelaskan perasaanku saat ini. Ku kepal tangan kananku, ku sentuh cincin dijari manisku dengan jempolku. Hatiku hancur. Pria yang selalu diacuhkan Ridha selama ini adalah kak Miko, pacarku. Aku berlari ke kamar dengan alasan ingin buang air kecil. Ku kunci pintu kamar dengan sisa amarah dan linangan air mata. Mama yang menyaksikan mengetok pintu kamarku dan memanggilku dengan lembut. Aku tak menjawab.
“Ya Allah yang maha membolak-balik hati manusia, ubah amarahku menjadi kelembutan dan jika benar ia bukanlah menjadi pilihanmu, tentramkan hatiku,” doaku dalam tangis.

BAB 7

Suasana hening, hanya ishak tangis bu Mira yang terdengar memilukan hati.
“Nak, tolong lah terima ini,“ pinta bu Mira sembari menyodorkan bingkisan berupa kotak dengan tangan gemetar.
Aku menerima bingkisan dalam keadaan lemah setelah mendengar kabar buruk yang dibawa keluarga Miko. Dengan rasa tidak percaya, aku membuka bingkisan yang diberikan ibu Miko. Begitu melihat kebaya putih berhias manik dan batu berlian yang terlipat rapi dalam kotak, aku tak sadarkan diri
“Sabar yah Sayang, Allah akan memberikan jalan bagi hambaNya yang bersabar,” suara mama terdengar berusaha menegarkan hatiku saat aku mulai membuka mata.
Aku masih merebahkan diriku dipelukan mama, kelopak mataku tak mampu menahan luapan air mata. Bayangan diri kak Miko, senyuman bahkan nafasnya saat mengajariku filsafat kehidupan masih terekam jelas diingatanku. Aku ingin berlari dari kenyataan pahit ini. Siangku tak bermentari, malamku tak lagi punya bintang, ingin ku minta pada Tuhan untuk mengembalikan kak Miko ke dunia walaupun hanya sekejap, untuk menjelaskan bahwa aku telah memaafkannya, aku masih mencintainya, aku masih menganggapnya kekasihku. Aku ingin dia memenuhi akad-akadnya untukku, menghalalkanku.
“Nak, atas nama keluarga, ibu meminta keikhlasan untuk memafkan segala kesalahan Miko, ibu yakin ada lelaki yang baik untuk wanita baik seperti kamu,” jelas Ibu Miko dengan suara tersengal-sengal.
“Dik, aku tahu perasaanmu, aku juga sangat tahu perasaan Miko padamu, ikhlaskan kepergian Miko, Dik” sambung kak Mila, kakak perempuan Miko satu-satunya.

BAB 8

“Apa? jadi diam dan sedihnya Rina karna ini? Ya Allah Miko, kenapa gak kabarin aku sebelumnya? Berdosanya aku, menyakiti hati sahabatku yang pertama kali merasakan indahnya dicinta dan mencintai,” Ridha menangis dan menyesali karena baru mengetahui kejadian yang sebenarnya mengapa Rina mulai bersikap aneh padanya selama liburan di rumahnya.
“Apa yang harus ku lakukan sekarang? Rina sudah nggak mau bicara sama aku, dia mutusin hubungan kami,”
“Minta maaf!. Kita harus jelasin semuanya kalau aku gak tahu semua yang terjadi, kalau kita sebenarnya sudah putus di bandara saat kamu antar aku pertama kali ke Samarinda”
“Saya pesimis.”
“Jangan pesimis Kak, aku sahabatnya Rina, aku tahu Rina akan memafkan kakak setelah kita berdua menjelaskan semuanya.”
“Sebelumnya temani saya cari kebaya, saya ingin segera melamar Rina, Dha, saya ingin Rina memakai gaun impiannya yang pernah ia tunjuk di toko Muslimah, di jalan Yos Sudarso, saya ingin membahagiakan Rina, saya ingin mengganti kesalahan saya dengan senyumannya.”
Ridha dan Miko pamit kepada ibu dan kakak Mila. Miko meneteskan air mata dan memeluk ibunya saat berpamitan, ibu dan kak Mila sempat bingung, tapi setelah Miko menjelaskan maksud pamitnya dengan Ridha, ibu dan kak Mila mengerti mengapa Miko mengeluarkan air mata haru.
Miko anak lelaki satu-satunya yang dimiliki ibu. Kak Mila sebagai anak pertama sekaligus kakak Miko sangat menyayangi adiknya. Sebisanya ia memberikan Miko kehidupan yang menyenangkan meskipun harus mengorbankan kepentingan dirinya. Semenjak kak Mila menikah, Miko merasa kesepian karena selama hidupnya, Mila lah tempat curahan hati terbaik Miko setelah Ibu. Ayah Miko sebulan yang lalu telah dipanggil menghadap sang Khalik. Ibu menjadi sakit-sakitan dan kini menjalani terapi untuk memulihkan kesehatannya. Hidup mereka tidak lah susah walaupun telah ditinggal sang pemimpin keluarga. Ayah Miko mempunyai banyak tambak yang saat ini masih dikelola baik oleh anak buah ayah Miko.
Dua tahun yang lalu, Miko memang menjalin hubungan alias berpacaran dengan Ridha. Setelah lulus SMA, Ridha memutuskan hubungan itu dengan alasan ingin berjilbab dan tak ingin pacaran lagi, namun Miko masih berusaha menyayangi dan menganggap Ridha kekasihnya. Bagi seorang Miko, menjalin hubungan walau hanya beratas nama pacaran tetap adalah sebuah keseriusan. Sedangkan Ridha selalu mengacuhkan Miko, Miko berusaha meyakinkan Ridha dengan memberikan barang-barang sebagai simbol kasih sayangnya pada Ridha, namun Ridha dengan santai membuang barang pemberian Miko itu. Rina lah yang memungutnya, karena Rina tahu pasti, lelaki yang menyayangi Ridha ini pasti punya cinta yang tulus, yang tak banyak dimiliki lelaki lain.
Sampai pada suatu saat, di bandara ketika Miko mengantar Ridha berangkat untuk mendaftar kuliah ke Samarinda, Ridha memutuskan dan memperkenalkan pria yang disebutnya sebagai pacar barunya di hadapan Miko. berakhirlah segala perjuangan Miko. Miko sadar, bahwa Ridha benar-benar tak memilihnya.
Beranjak di semester empat, Miko mulai mengabdikan dirinya di organisasi keislaman, ia menjadi orang yang penuh dengan kesibukan hingga terkadang ia harus menyampingkan kuliahnya demi kepentingan umat, membina insan akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan Islam menuju terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT4. Ibu dan kak Mila tidak pernah merasa diabaikan melihat Miko yang sibuk dan suka pulang subuh, karena mereka tahu, Miko anak yang sangat menjaga kepercayaan dan nama baik orangtuanya.
Kini semua hanyalah tentang Miko, Jasadnya telah tiada. Miko mengendarai Mobil Kijang bersama Ridha. Dalam perjalanan pulang dari toko baju Muslimah, Ridha yang terus mempertanyakan awal mula percintaan Miko dengan Rina membuat Miko hilang kendali. Miko hampir menabrak sepeda motor yang berjalan pelan di depan mobilnya, untuk menghindari itu, Miko membanting stir ke arah kanan jalan dan menghantam pembatas jalan. Kijang Miko terbalik. Ridha yang duduk bersampingan dengan Miko tewas tertusuk pecahan kaca mobil sementara Miko tewas diperjalanan saat dibawa ke Rumah Sakit Umum oleh warga.
Berakhir sudah ikhtiar Miko. Miko mungkin tak mendapatkan senyuman Rina, tapi ia mendapatkan senyum bidadari surga. Cinta Miko membawanya kepada kesempurnaan, kepada si pemilik cinta abadi, kepada Allah SWT.
4 Tujuan Himpunan Mahasiswa Islam

BAB 9

“Dalam novel, konflik yang dikisahkan lebih luas, watak tokohnya pun lebih berkembang sampai mengalami perubahan nasib, penggambaran latar lebih detail bersamaan dengan perjalanan waktu terjadi perubahan-peru...”
“Rin...,” panggil Dani memotong penjelasan Rina pada temannya.
“Hmm,” eluh Rina.
“Aduh, maaf, maaf, telat karna dijalan macet”
“Kebiasaan anak ni, Bah,” sahut Sinta.
“Ya sudah, belajar dulu sama Sinta, aku cari referensi lain dulu,” Rini meninggalkan Dani dan Sinta untuk menyusuri jejeran buku di rak perpustakaan.
Saat Rina menarik buku yang ingin dibacanya, di sela tempat buku yang telah kosong ia ambil itu, matanya menangkap bayangan sepasang makhluk yang ia kenal. Ia mengalihkan matanya dan kembali ke tempat Sinta dan Dani belajar.
“Rin, ayo pulang, sudah mau tutup e perpusnya,” ajak Dani.
“Iya.”
“Pulang singgah ke rumahku dulu yah,” ajak Dani kembali.
“Aku ikut yah?,” pinta Sinta.
“Oke, tapi cuci piring yah habis tu,” sembari tertawa bersama.
Setelah kepergian Miko, Dani senantiasa menemani tiap langkah Rina. Dani memang menyukai Rina, tapi Dani mengelak setiap kali teman-teman menyimpulkan kedekatannya dengan Rina sebagai jalinan spesial. Dani teman selokal Rina di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, jurusan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah. Dani sangat hati-hati menjaga perasaan Rina, apalagi berkaitan dengan percintaan, Dani tidak ingin Rina mengingat kepergian Miko. Sebenarnya Rina sadar perlakuan Dani sangat spesial untuknya, Rina juga menunggu waktu yang tepat agar Dani mampu mengungkapkan perasaannya yang sesungguhnya pada Rina.
Keluar dari pintu perpustakaan, karena asik tertawa tanpa sadar Rina menabrak seorang wanita.
“Maaf Kak.”
“Rina,” sapa lelaki yang berada di samping wanita yang ku tabrak.
“Kak Herman, kak Ani,” sapa balik dariku untuk orang yang ternyata teman organisasi kak Miko.
“Eh Rin, kirain siapa yang nabrak-nabrak aku, kamu rupanya, ya nggak papa, kami luan yah.”
Tak salah, Ani dan Herman lah yang Rina lihat bercanda mesra di dalam perpustakaan tadi. Rina menyunggingkan senyum dan kembali melanjutkan ceritanya bersama Dani dan Sinta.
Sesampainya di rumah Dani, Shinta terlihat pucat dan cepat-cepat pamit pulang. Aku dan Dhani merasa khawatir, tapi Sinta memaksa untuk pulang sendiri. Kami hanya bisa mendoakan dan menasihati Sinta agar menjaga kesehatannya.
Kami mengantar Sinta sampai di teras rumah. Aku duduk di teras rumah memikirkan apa yang terjadi pada Sinta. Dani menemaniku duduk hingga pergantian hari.
“Rin, aku sayang sama kamu, tapi aku nggak mau kamu nganggap aku mencoba mengganti kedudukan Miko di hatimu, aku tidak pernah memintamu untuk menerimaku sebagai kekasihmu, hanya saja aku memang benar menyayangimu.”
Aku menangis mendengar pengakuan Dani. Menangis antara mengenang Miko dan terharu karena masih ada yang menyayangiku sama seperti Miko menyayangiku dulu. Dani memelukku erat dan meneteskan air matanya. Dani mengerti apa yang aku rasakan. Saat itu lah aku merasa bahwa Dani sosok yang paling tepat buatku. Aku membalas pelukan Dani berharap Dani akan selamanya menemaniku seperti saat ini hingga maut memisahkan.
Malam yang dingin menghangat berkat pelukan Dani, di teras rumah Dani, kami menghabiskan malam dengan kasih sayang, menatap bintang yang kembali berkelip di tengah awan gelap.



BAB 10

Sahabatku Rina Syabira
di Tarakan

Assalamu’alaikum,
Rina apa kabar? Ku mohon jangan menangis saat membaca surat ini. Aku berharap engkau selalu sehat sama seperti aku dan keluarga. Maaf aku tidak pamit meninggalkan Tarakan dan teman-teman khususnya dirimu.Sahabatmu ini pastilah orang yang kau benci sekarang.
Sahabatku Rina
Aku bahagia melewati malam terakhir bersamamu di teras rumah. Menatap bintang-bintang dan menemani bintang hatiku yang sesungguhnya yaitu kamu. Rasanya aku ingin selamanya melewati masa-masa itu.Menemanimu sampai kau menyandang gelar sarjana dibelakang namamu.
Rina, sungguh sebagai sahabat aku ingin membuatmu selalu tersenyum, tetapi semakin lama aku semakin tak berdaya. Ada seseorang yang telah lama mencintaiku, telah lama memendam perasaannya padaku. Orang itu menderita kanker hati dan aku merasa dia sangat membutuhkanku lebih dari dirimu.
Rina, dalam suasana hati yang pilu, aku ingin engkau menyelesaikan kuliahmu dengan baik. Meneruskan cita-cita dengan semangat yang selalu membara di jiwamu. Aku ingin menyaksikan kesuksesanmu walau hanya melalui kabar mulut karna Aku mungkin tak akan kembali ke Tarakan, aku akan menghabiskan waktuku bersama orang yang mencintaiku disini, berusaha menjadi yang terbaik di masa-masa sulitnya.
Aku yakin kau akan merasakan pilu yang sama dengan apa yang aku rasakan ketika kak Mila menceritakan semua sekitar dua minggu yang lalu. Tapi kau harus mengetahui bahwa orang yang menderita kanker ini adalah Sinta, sahabat kita juga. Rina, Sinta adalah sepupu satu-satunya Miko, anak dari Adik Ibunya Miko, dari Sinta lah aku mengenal cara Miko mencintaimu, Sinta juga lah yang menjahit tiap manik dan berlian yang ada di kebaya terakhir pemberian Miko. Ayah Sinta yang mempunyai toko Muslimah itu dan Sinta lah designer dari semua baju yang dijual. Besok Sinta akan menjalani pengangkatan jaringan sel kankernya, setelah itu aku akan menikahinya. Berikan doa terbaikmu untuk kami, Rina.
Sekali lagi Rina, sekalipun engkau menangis tetaplah engkau berdiri, aku ingin kau tak selalu terikat oleh masa lalumu. Bukalah hatimu Rina, aku yakin Allah akan memberikan Rahmat terbaik untuk wanita terbaik seperti kamu.
Sekian dulu. Maafkan kami atas semua kesalahan yang sulit engkau terima.
Wassalamu’alaikum

Sahabatmu
Dani Safaullah
Sesak terasa dada Rina membaca rangkaian kata dalam surat itu. Namun Rina paham bahwa cinta seorang sahabat tak akan pernah usai. Bukan hanya cinta Dani, tapi cinta Sinta yang selama ini terpendam oleh perasaan takut menyakitinya. Sinta, semoga Allah memberimu cinta dan kehidupan yang layak lewat tangan-tanganNya.

BAB 11

Kicauan burung bak nyanyian kehidupan, bunga-bunga yang merekah menambah warna pesona Idul Fitri,  hilir mudik tamu-tamu berdatangan dari satu rumah ke rumah yang lain. Rumah kami menjadi salah satu rumah yang kedatangan tamu. Mama dan papa menyambut dengan penuh kegembiraan. Wajah tamu kali ini terlihat asing, tapi mama dan papa bisa mengambil kesimpulan bahwa dua pria muda ini adalah teman Rina. Mama menawarkan kue dan menyuguhkan dua gelas coca cola.
Salah satu tamu memulai pembicaraan dengan memperkenalkan dirinya beserta teman yang ia bawa. Cerita terus berlanjut, papa dan mama mulai mengetahui banyak tentang pria yang memulai pembicaraan. Pria tampan bertubuh tinggi ideal, kulit bersih dan tinggal di daerah Jembatan Besi. Berasal dari keluarga keturunan Bugis dan anak ketiga dari Hajah dan Haji yang tersohor di daerah tempat tinggalnya.
“Mohon maaf sebelumnya Ibu dan Bapak, saya juga baru pertama kali melakukan hal ini, entah apa yang membuat saya berani mengatakan hal ini, tapi saya merasa harus mengungkapkan bahwa saya ingin dekat dengan anak Ibu dan Bapak. Dulu, ketika saya ingin mendekati seorang wanita, saya dekati saja wanita itu, saya tidak peduli dengan orangtuanya, tapi kali ini saya merasa perasaan saya berbeda,” jelas Herman
Papa dan mama saling menatap.
“Nak, kami ini terserah dari Rina saja,” ucap Ibu dengan penuh kebijaksanaan.
Aku mendengar sekilas percakapan mereka, aku membuka lemari dan mengambil bingkisan kotak. Aku mengeluarkan baju kebaya pemberian Miko. Tiga tahun sudah kepergian Miko, tapi harumnya baju itu masih seperti pertama kali aku mendapatkannya, harum parfum Miko. Aku yakin Miko ada di sampingku.
“Miko, aku telah melewati ribuan jalan yang berliku, aku tetap membawa namamu di hatiku, banyak cinta yang berusaha mendera hatiku, tetapi tertepis dengan bayangmu, Miko, izinkan aku sekarang membuka hatiku untuk seorang pria,” aku mengeluhkan segala isi hatiku di depan kabaya pemberian Miko.
Aku tak lagi menyimpan bingkisan itu dalam lemari, aku meletakkannya di gudang. Mungkin ini lah jawaban dari penantianku, inilah saatnya aku melepaskan diri dari pelukan penderitaan hati dan kehampaan.

BAB 12

“Sepi rumahmu ya Kak, mana mama?”
“Ada di kamar.”
“Aku ke Derawan tiga hari yang lalu Kak, enaknya disana, airnya jernih seperti air mineral, pantainya bersih dan pasirnya putih.”
“Adik pergi dengan siapa?.”
“Sama mama dan papa, sama si Aurel juga.”
“Oh.”
“Aku kangen sama kamu Kak, andai kamu ikut kemarin, pasti lebih menyenangkan karna suasananya romantis, apalagi kalau malam.”
“Dik, aku sudah punya pacar.”
“Paakk,” suara keras tamparan mengisyaratkan bahwa amarah mendalam yang tak terbendung lagi untuk di keluarkan.
“Siapa?”
“Rina.”
“Kau dan keluargamu bukanlah sesuatu yang harus ku kenali lagi Kak, aku datang ke sini karna aku ingin kita bersama lagi, tapi ternyata kau memilih yang lain. Itu kah cewek yang kau bilang cewek idamanmu?, aku sangat menyadari kekuranganku, tapi sumpah aku menyayangimu.”
“Aku nggak bisa, Dik”
Ani pergi meninggalkan Herman dengan kekecewaan dan hamburan air mata. Tamparan Ani memang menyakitkan buat Herman. Herman dikenal sebagai Playboy berkelas, namun tetap jiwanya sangat lembut kepada wanita, ia tak berniat menyakiti hati Ani, hanya saja Herman merasa wajib untuk jujur. Herman ingin merubah hidupnya dan menghapus pandangan setiap orang pada dirinya sebagai Herman yang Playboy. Herman yakin bahwa Rina lah orang yang memiliki kesempurnaan jiwa untuk mendapinginya yang penuh kekurangan.
“Man, kenapa si Ani, Man?,” tanya mama
“Nggak papa, Ma.”
“Man, jangan kau terus sakiti hati cewek Man, kau masih punya saudara perempuan, dewasa juga kau kan Man, mampu kau berpikir mana yang baik mana yang tidak,” tutur mama.
Herman memeluk mamanya, “Ma, Ani yang selingkuh dengan Apay, aku sudah memilih yang lain ma, aku janji ini yang terakhir dan akan ku jadikan istri kelak.”
“Bawa lah dia kemari Man, biar mama mengenalnya.”

BAB 13

“Adik, saya bingung bagaimana mau mengatakannya, tapi janganlah mengambil resiko”
“Iya, cukuplah kejadian dengan Miko diambil sebagai pelajaran, Herman sangat tak pantas buamu, masih banyak lelaki yang lain yang baik-baik, Dik”
“Jangan pernah terpikat oleh ketampanan dan kekayaannya, tapi pandanglah akidahnya Dik, itu kan yang selalu diajarkan agama kita.”
“Aku dan Thata akan sangat kecewa jika kamu memilih Herman.”
Perkataan kak Thata dan kak Vika membuatku kembali berpikir, tapi aku juga menyadari bahwa yang menjalani semua adalah aku. Sebenarnya aku tidak mengenali Herman dengan baik. Saat aku pergi ke pengajian dengan kak Miko, saat itu lah aku mengenal Herman. Kini apa salahnya jika aku memberikan ia kesempatan. Manusia pastilah akan menyadari kesalahannya dan menuju kebaikan karena itu memang fitrah. Aku juga telah mengenal keluarganya, mama, papa, kakak perempuannya dan kakak laki-lakinya. Mereka sangat baik, dan melayani aku seperti putri mereka sendiri, penuh kelembutan dan kasih sayang.
Tiga bulan sudah aku mendampingi Herman, semangat Herman menyusun skripsi membuatnya menjadi mahasiswa terbaik ketiga di fakultas Ekonomi, jurusan Manajemen. Ia mendapatkan beasiswa dari kampus. Sebagai kekasih, aku sangat bangga dan berharap Herman dapat mewujudkan impiannya.
Semua orang mengira bahwa aku lah sumber keberhasilan Herman setelah Tuhan, mereka yang dulu meragukan hubungan kami kini berbalik sangan meneladani kami, memuji dan meminta trik. Aku dan Herman hanya membalas permintaan mereka dengan bercanda. Mereka salah. Semua adalah ikhtiar dan doa kami, Allah maha pemberi kebahagiaan.

BAB 14

“Man, aku yakin kalau kau memilih Rina, kau akan bahagia.”
“Bingung aku, Bah.”
“Kau sudah diselingkuhi si Ani, ngapain lagi kau berharap, katamu kau ingin berubah, cari yang baik lah, si Rina yang tepat, yakin aku, besok aku temani kau bicara sama orangtuanya, Bos.”
Masih terekam jelas bagaimana Bagus menasehati Herman untuk memilih Rina. Herman tersenyum dalam ingatan, ia yang sedari tadi merebahkan diri di atas ranjang tersipu malu memandang selembar foto. Di foto itu tergambar seorang wanita berbalut jilbab pink dan tersenyum. Sungguh manis wanita surga pilihan Allah. Terpancar jelas dari wajahnya tersembunyi Nur Muhammad.
Aku akan menjaga kesetiaanku, aku akan menunggu waktu yang tepat untuk mendapatkan orang yang tepat sepertimu, aku sangat yakin kau mampu menungguku, aku pergi untuk sementara Rina, aku mencari bekal untuk kebahagiaan kita kelak menyulam titian rumah tangga, pikir Herman sambil terus memandang foto Rina.




BAB 15

“Paaakkk”
“Kau tahu Herman! aku dan keluargaku tidak akan pernah memafkanmu seumur hidup!”
Amarah yang membara tak sanggup lagi mengendalikan prilaku. hilir mudik warga kampus terhenti saat aku melayangkan tamparan keras di wajah Herman. Di depan gedung Rektorat, di hadapan banyak mahasiswa, teman-teman Herman, teman-temanku, aku melakukannya. Setelah puas serapah terucap dari mulutku, aku meninggalkan tetesan air mataku kembali ke rumah.
Aku merasa menyerah, aku tak lagi mampu mengingat kepedihan yang selalu didatangkan melalui adam-adam dunia. Aku mengurung diriku dalam kamar.
“Adik, Herman pamit besok Herman ke Jakarta untuk belajar melanjutkan S2 jam enam pagi. Herman ingin adik mendoakan Herman, cukup itu. Adik, Herman bisa menikahi adik ketika Herman telah mempuyai pekerjaan, Herman akan berusaha menjalankan studi dan mencari kerja, Herman tidak ingin bergantung pada orangtua Herman. Hubungan kita saat ini bukanlah hubungan yang sah, apabila ketika di tengah penantian nanti ada yang melamar Adik dan Adik merasa orang itu lebih baik dari Herman, terima saja. Namun Herman akan bersyukur jika Adik mampu menunggu Herman, Herman mencintai Adik dan keluarga Adik. Kejadian kemarin hanyalah kesalahpahaman. Bukankah Adik mengenal wanita yang saya bonceng kemarin. Dia adalah Kurni, sahabat Herman satu lokal, pacarnya abang Udin, Herman bersama dia karena Bang Udin minta tolong sama Herman membawa Kurni ke kampus. Herman sangat sedih dan malu ketika Adik menampar Herman sejam sebelum Yudisium Herman. Tapi Herman berusaha mengerti bahwa perlakuan Adik adalah bentuk kasih sayang Adik sama Herman. Hanya itu yang ingin Herman katakan, Assalamualaikum.”
Aku mendengar dengan baik tiap kata yang keluar dari mulut Herman di balik pintu kamar. Herman melangkah pergi dan aku membiarkannya. Kini sampai lah titahku berpasrah pada Allah. Allah tak pernah tidur. Allah tak akan membiarkan jiwa-jiwa yang menangis. Karena Allah maha penyanyang dan pemberi segala.
Sesaat tercium wangi parfum Miko, aku merebahkan diriku di atas ranjang. Kesendirianku tak kunjung usai, garis panjang penantian akan tetap ku lalui, bukan karena ketegaranku dalam bertahan, tapi karena rahmatnya mengajariku sabar.

SELESAI

Inspirasi penulis dari syair lagu Cahaya Hati “Opick” dan Cinta Takkan Usai “Pinkan Mambo”.